REPUBLIK HATI - Syaf Jtr

Hidupku adalah Cita-citaku Matiku nanti juga Cita-citaku Bahagia juga cita-citaku

 Sebuah Study Kritik terhadap metode Abu Sankan

Sholat khusyu' itu tidak bisa kita definisikan secara akal-akalan, apalagi menggunakan perkiraan berdasarkan pengalaman rohani seseorang. Sebab shalat itu ibadah ritual, di mana kita sama sekali tidak punya ruang untuk melakukan improvisasi sendiri.

Maka konsep shalat khusyu' haruslah turun dari langit, yaitu dari yang memerintahkan shalat itu sendiri. Kita tidak diberi peluang untuk membuat-buat aturan tentang kekhusyu'an ritual shalat.

Maka alangkah baiknya bilakonsep khusyu' itu sendiri yang perlu kita tetapkan terlebih dahulu. Jangan sampai kita hanya mengarang sendiri. Untunglah kita ini umat nabi Muhammad SAW, sehingga tidak ada masalah untuk mencariguidedalam urusan kekhusyu'an shalat. Guide kitaadalah Rasulullah SAW dalam urusan ini. Kalau mau tahu seperti apa shalat khusyu', maka lihatlah tata cara shalat beliau.

Khusyu Bukan Kontemplasi

Kalau kita sudah sepakat bahwa orang yang paling berhak untuk menetapkan kekhusyuan dalam shalat adalah Rasululah SAW, maka insya Allah kita sudah mendapatkan separuh dari jawaban masalah khusyu' ini. Lain halnya kalau ada di antara kita yang masih berpikir bahwa ada sosok lain yang lebih perlu kita ikuti dari sosok Rasulullah SAW.

Maka sekilas kita dapat melihat bagaimana praktek shalat Rasulullah SAW yang disebut dengan khusyu'. Adakah beliau pada saat shalat melakukan beragam ritual kontemplasi sehingga tidak ingat apa-apa? Adakah saat shalat beliau menutup diri dari kejadian di sekitarnya? Adakah saat shalat beliau lupa ingatan dan hanya membangun hubungan dengan Allah saja tanpa mempedulikan orang lain?

Ternyata tidak demikian. Justru Rasululah SAW ketika shalat sangat peduli lingkungan. Bukankah beliau mempercepat shalatnya kalau sedang menjadi imam dan mendengar ada bayi yang menangis dari shaf para wanita? Bukankah beliau memerintahkan kita yang sedang shalat untuk menghalangai orang yang akan lewat di depan kita? Bukankah beliau memerintahkan kita yang sedang shalat untuk membunuh ular? Bukankah kita boleh mencegah orang yang lewat di depan kita tatkala kita sedang sholat?

Kalau shalat khusyu' dimaknai sebagai memutuskan diri dari semua yang ada selain Allah saja, maka bagaimana bisa Rasulullah SAW mempercepat shalatnya saat bayi menangis? Bagaiman bisa beliau meminta kita menghalangi orang yang mau lewat atau membunuh ular?

Pernah suatu ketika saat beliau sujud, kedua cucunya naik ke atas bahu beliau. Maka beliau pun memperlama sujudnya, seolah memberi kesempatan kepada kedua cucunya itu untuk puas bermain naik ke atas bahunya.

Nah, inilah bentuk shalat khusyu' yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dan jelas sekali tidak ada kekhususan dalam hal ini. Rasulullah SAW adalah suri tauladan kita. Beliau yang mengatakan, "Shalatlah kamu sebagaimaan kalian melihat aku melakukan shalat."

Khusyu' = Konsentrasi

Maka kalau kita timbang-timbang, agaknya yang dimaksud dengan khusyu' bukan semata-mata tidak ingat apa-apa kecuali Allah, melainkan merupakan sebuah konsentrasi untuk menjalankan shalat dengan baik, sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dan shalatnya Rasulullah SAW adalah shalat yang 'Peduli Lingkungan'.

Beliaulah yang mengajarkan kepada kita untuk menjawab salam saat shalat dengan isyarat. Dan itulah shalat yang khusyu'. Beliau pula yang mengajarkan bagaimana makmum berkewajiban membenarkan gerakan atau bacaan imam, bahkan shat yang paling belakang, yaitu shaf para wanita, juga diberikan hak untuk membenarkan iman, dengan cara bertepuk.

Kalau shalat khusyu' dimaknai sebagai tidak ingat apa-apa yang ada di sekelilingnya, bagaimana mungkin makmum membenarkan imam?

Maka yang paling mudah dalam memahami konsep khusyu' adalah bahwa seseorang melakukan shalat dan dia konsentrasi terhadap apa yang sendang dilakukannya. Kalau dia membaca ayat Al-Quran, maka dia memahami apa yang dibacanya dan benar-benar konsentrasi terhadap bacaan serta maknya yang dikandungnya.

Ketika dia mengucapkan takbir, maka dia meresapi bahwa hanya Allah saja yang Maha Besar, yang selain Allah tidak ada apa-apanya. Ketika dia membaca doa istiftah, maka dia benar-benar meresapi makna yang terkandung di dalamnya.

Kalau dia menjadi makmum atau imam, maka dia tahu bagaimana mengatur komposisi gerakan bersama jamaah yang lain. Dan yang lebih penting, dia ingat hitungan bilangan rakaatnya, tidak lupa atau rancu.

Jadi intinya, shalat yang khusyu' itu bukan semata-mata kontemplasi tidak ingat apa-apa, tetapi shalat khusyu' adalah shalat yang memenuhi semua syarat, rukun, kewajiban dan tahu makna dari tiap gerakan dan bacaannya, yang dilakukan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Wallahu a'lam bishshawab

by: Syafii Nur *(PPFU Manggisan Jember)

Di bawah ini adalah beberapa catatan penting untuk meraih sholat khusuk. Sholat khusuk sulit diraih karena beberapa hal dibawah ini:
  • Menganggap sholat khusyu itu sulit diraih
    Banyak sekali referensi yang mengatakan bahwa sholat khusyu hanya dapat diraih oleh orang-orang tertentu saja, dan membutuhkan level agama tertentu. Dengan persepsi seperti ini, saat melakukan sholat kita sudah tidak berusaha meraih khusyu lagi. Sholat hanya menjadi 'yang penting sholat'.
    Padahal siapapun bisa meraih sholat khusyu, bahkan para pendosa sekalipun. Itu adalah hak prerogatif Alloh.
  • Tidak tau bagaimana khusyu itu sebenarnya
    Kadang kita salah membedakan mana khusyu dan mana konsentrasi.
    - Khusyu bersumber dari hati, sedangkan konsentrasi dari pikiran.
    - Konsentrasi hanya membatasi kesadaran kita pada otak saja, sedangkan khusyu pada akhirnya membawa pikiran untuk konsentrasi.
  • Salah anggapan
    - Menganggap sholat adalah demi gugurnya kewajiban.
    - Menganggap sholat diwajibkan karena Alloh butuh sholat kita.
    - Menganggap sholat untuk meraih surga.
    - Menganggap sholat sebagai penghindar dari neraka.

    Padahal sesungguhnyalah kita yang butuh sholat itu. Saking dibutuhkannya sampai diwajibkan. Dan hanya melalui sholatlah kita dapat menghadapNya, tidak ada media atau sarana lainnya. Ini adalah fasilitas super canggih yang disediakan.
  • Salah paham tentang niat
    Masih banyak yang bingung membedakan mana niat dan mana bacaan awal sholat.
    Niat bukan hanya bacaan di awal sholat, tapi melingkupi secara keseluruhan saat sholat, dari awal hingga akhir.
    Mengutip dari buku Ustadz Abu, misalnya kita diberi gelas berisi air penuh, yang goyang sedikit saja tumpah, lalu kita disuruh membawanya berjalan 100 meter. Sepanjang perjalanan itu kita harus menjaga kesadaran agar airnya tidak tumpah. Usaha menjaga kesadaran itulah namanya niat.
  • Menganggap bacaan adalah sebagai kontrol gerakan sholat
    Inilah ajaran yang kita terima secara umum sejak masa kecil. Setiap satu bacaan selesai, maka dilanjutkan dengan gerakan berikutnya. Misalnya setelah bacaan iftitah selesai, maka langsung disambung dengan rukuk, dan setelah bacaan rukuk selesai, maka disambung dengan gerakan i'tidal. Dan seterusnya.
    Tidak ada yang salah dengan hal ini.

    Namun hendaknya, setiap memulai suatu gerakan, tidak harus buru-buru melakukan bacaannya. Serta ketika bacaan sudah selesai, tidak usah buru-buru mengakhiri gerakan tersebut.
    Intinya tertibkan gerakan sholat, lakukan dengan tuma'ninah (rileks, santai).

    Bacaan berulang-ulang di setiap rukuk atau sujud, jumlahnya juga tidak harus 3 kali, boleh diucapkan berulang-ulang sebanyak apapun. Ini dilakukan untuk sugesti diri, doa. komunikasi, autoterapi, dan banyak lagi lainnya.
  • Menganggap bacaan sebagai bacaan
    Mungkin di sinilah inti dari kesalahan yang sering terjadi. Bacaan sholat yang dibaca hanya dijadikan sebagai rukun sholat, dibaca secara cepat, tanpa tau maksudnya.

    Tidak sedikit yang hafal bacaan iftirasy (duduk di antara 2 sujud), namun banyak yang tidak tau bahwa di dalamnya terkandung dialog dengan 8 doa. Kebanyakan dibaca datar saja, mengalir dari bibir/otak, bukan dari hati.

    Padahal itu seharusnya menjadi dialog. Dialog pada siapa yang disembah. Untuk tau arti tiap bacaan rasanya mudah sekali, karena sudah buanyak sekali buku yang memaparkan artinya.
    Bacalah bacaan itu dengan perlahan, resapi maknanya, ketahui maksudnya, lalu setelah diucapkan tunggu respon dariNya.

    Dan memang bacaan itu menjadi dialog, yang artinya komunikasi 2 arah, kontak langsung dengan Robbul Alamin, Tuhan pencipta segala alam.
Sholat khusyu bukanlah sholat yang lama, namun saat meraih khusyu akhirnya sholat menjadi lama, karena rasanya akan sayang sekali untuk mengakhiri sholat. Dan setiap kali selesai sholat, akan merindukan waktu sholat berikutnya. Ini bukan hal yang dibuat-buat, tapi digetarkan dari dalam hati.
Untuk meraih sholat khusyu tidak perlu menambah atau merubah cara sholat, atau dengan membayangkan hal-hal lain, media lain, dan lain sebagainya. Cukup perbaiki cara sholat.
Dalam menghadap Alloh tidak membutuhkan pengetahuan atau ketinggian ilmu, karena toh ilmu itu milik Dia. Cukup menghadap Dia dengan kebodohan dan kekotoran jiwa, lalu buka dan pasrahkan hati, niscaya Dia yang akan mengajarkan ilmuNya. Hanya satu ilmu yang patut kita bawa untuk menghadapNya, yakni kebodohan kita. Kembali ke zero state.
Hal inilah yang perlu dilatih, terus dan terus. beberapa hari saja tidaklah cukup, karena harus tetap diolah, baik sendiri maupun berjamaah.
Selamat meraih sholat khusyu.

by: Syafii Nur (Alumni Fatihul Ulum, Manggisan Jember)

Mengenai bagaimana cara meraih sholat khusu', imam Ghozali memberikan uraian yang cukup panjang mengenai hal ini. Tetapi jangan berusaha dengan cara yang menggebu-gebu untuk bisa khusyu', karena keinginan khusyu' yang berlebihan itu merupakan hawa nafsu.

Ibnu Athaillah as-Sakandary memberikan solusi "Jika anda ingin khusyu' dalam sholat, kemudian anda khusyu'kan, anda akan kesulitan khusyu'. Keridhoan anda dan kerelaan anda, bahwa saat itu Allah belum mentakdirkan khusyu' malah bisa
membuka pintu kekhusyu'an. Jadi tawakkal dan ridho itu harus menyertai ibadah anda.

Syeikh Abdul Jalil Mustaqim memberikan solusi kekhusyu'an dengan tetap membunyikan Allah.Allah.dalam hati bagi seluruh bacaan dan gerak gerik hati sholat anda hingga salam.

Pertama-tama selain niat yang ikhlas, bahwa sholat itu hanya untuk Allah, bukan selain untuk Allah, harus diteguhkan diawal niat anda. Bukankah anda semua sedang menghadap Allah, layak dan sopankah jika anda menghadap kepada Yang Maha Agung, tanpa sepenuh jiwa, dan hati yang
"berselingkuh"? Padahal ketika hamba Allah mengucap takbir, Allahu Akbar, sejak awal sholat maupun pergantian gerakan sholat, semestinya ia menyadari, betapa seluruh totalitas selain Allah itu ditakbiri, sehingga sang hamba fana' total dalam Baqo'Nya Allah.

Sebenarnya Allah tidak membutuhkan sholat kita, tetapi kitalah yang butuh Allah melalui sholat, karena itu sholat kita harus hanya untuk Allah (Lillahi Ta'ala). Allah tidak butuh disembah, tetapi kita yang bergantung kepadaNya membutuhkanNya secara total.

Sholat itu bukan sebagai kerangka jalan menuju hakikat, tetapi sholat itu adalah perintahNya, bukan utnuk kepentingan Allah tetapi demi kepentingan kita sendiri, karena cinta dan kasih sayang Allah Yang Maha Agung Kepada kita. Jadi salah besar bahkan sesat kalau ada pandangan yang mengatakan, bahwa sholat itu jalan menuju kepada Allah, sehingga kalau sudah bertemu dan menyatu dengan Allah tidak perlu sholat, karena kalau masih sholat berarti kita masih mondar mandir di jalan. Inilah jalan sesat iblis yang membelokkan perintah Allah.

Selanjutnya mari kita renungi wacana sholat Sufistik dari Hujjatul Islam Al-Ghozali di bawah ini.

Mungkin anda akan berpendapat bahwa apa yang saya kemukakan ini akan berbeda dengan kesepakatan para ulama fiqih (fuqaha). Apabila saya menekankan perlunya kesadaran penuh dalam setiap gerakan sholat sebagai syarat sahnya sholat,
sementara mereka (para ulama fiqih) tersebut hanya mensyaratkannya pada saat melakukan takbiratul ihram, "Allahu Akbar".

Perlu anda pahami bahwa para ahli fiqih tersebut tidak mempedulikan hal-hal yang berkaitan dengan urusan batin atau persoalan akhirat. Perhatian mereka hanyalah tertumpu pada aspek-aspek lahiriah hukum agama, denga merujuk pada
perbuatan fisik anggota badan semata. Mengenai manfaat ukhrawi (bagi kehidupan akhirat kelak) dari perbuatan masing-masing tersebut, jelas diluar jangkauan dan pembahasan ilmu fiqih, sehingga tidak pernah ada konsensus tentang hal tersebut.

Sufyan ats Tsauri, seorang ahli fiqih periode awal Islam, pernah berkata, "Sesungguhnya tidak sah sholat yang tidak dilakukan secara khusyu' dan disertai kesadaran hati". Diriwayatkan bahwa Al Hasan pernah berkata, "Sholat yang
dilaksanakan tanpa disertai kesadaran hati, akan mendekatkan kita pada siksaan". Dikatakan Mu'adz bin Jabal, "Baragsiapa sampai mengenal orang yang disisi kanan dan kirinya, sementara ia tengah sholat, maka tiada nilai sholat baginya".

Rasulullah bersabda "Seseorang yang melaksanakan sholat, tetapi mungkin pahala atau kebaikan yang diperolehnya hanya seperenam atau sepersepuluh sholatnya. Manusia hanya memperroleh kebaikan pada bagian-bagian yang dilakukannya dengan kesadaran hati". Hr. Abu Dawud, an Nasa'i. Apabila hal ini diriwayatkan melalui orang yang lebih sedikit lagi, tentunya sudah menjadi madzhab, kalau demikian mengapa tidak pernah dijadikan pegangan secara serius?

Dikatakan oleh Abdul Wahid bin Zaid, "Para ulama telah sepakat bahwa manusia akan memperoleh kebaikan dari sholatnya hanya dari bagian-bagian yang dilakukannya dengan penuh kesadaran." Dan dalam pendapat Abdul Wahid ini sebenarnya telah terjadi konsensus (ijma') tentang masalah ini. Singkatnya kesadaran hati merupakan inti sholat dan sekaligus penentu nilai sholat itu sendiri. Perhatian dan kesadaran pada takbir pertama, takbiratul ihram, "Allahu Akbar" hanyalah syarat minimum untuk menjaga agar inti tersebut tetap hidup.

**Ya Allah, kami senantiasa mengharapakan uluran kasih sayangMu**

UMUR AISYAH SAAT MENIKAH
MENJADI BAHAN FITNAH KEJI UNTUK RASULULLAH SAW

Fitnah Keji Kaum yang Memusuhi Islam Tentang Pernikahan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah 6 tahun yang digunakan untuk Propaganda Menjauhkan Umat Islam dan Cintanya kepada Rasulullah Muhammad saw yang mulia.


Fitnah Keji yang Tak Henti-Henti

Seorang teman nonmuslim suatu kali bertanya ke saya, Akankah anda menikahkan saudara perempuanmu yang berumur 6 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?” Dia melanjutkan,” Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 6 tahun, Aisyah, dengan Nabi anda?” Saya katakan padanya,” Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan anda pada saat ini.” Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya.

Bagaimanapun, pertanyaan seperti ini akan mudah menipu bagi orang-orang yang awam dalam mempercayainya. Sehingga, orang yang lemah imannya akan mudah goyah keimanannya dan kecintaannya kepada Rasulullah saw yang merupakan manusia tauladan, itulah yang menjadi target si penanya untuk menjauhkan ’umat Islam’ dari ’Islam’-nya. Untuk memberikan keraguan dan kecintaannya kepada Rasulullah saw.

Bagaimanapun, tidak akan berpikir untuk menunangkan saudara perempuan kita yang berumur 6 tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah terhadap orang tua dan suami tua tersebut.

Bagaimana dengan usia Rasulullah manusia sempurna? Apakah bisa sama dengan laki-laki biasa pada umumnya. Rasulullah adalah seorang utusan Allah. Apakah tidak ada suatu rasa kehormatan dan kebanggaan tersendiri mempunyai menantu Utusan Allah, dimana disholawatkan oleh setiap muslim?. Usia 50 bagi rasulullah bukanlah angka yang dianggap seperti laki-laki pada umumnya sekarang ini. Dia telah memasuki 10 tahun kerasulannya. Sehingga tidak diragukan lagi bagaimana akhlaq Rasulullah tersebut. Hanya saja sebagian musuh Islam terus saja mencari-cari sisi-sisi yang sekiranya dapat dijadikan sebagai bahan fitnahan.



Batas Usia Abad 20

Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi instruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur dibawah 18 tahun , dan calon isteri dibawah 16 tahun. Tahun 1931, Sidang dalam oraganisasi-oraganisi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima. Hal ini juga digunakan untuk membenturkan kejadian tersebut dengan umat muslim. Tiada lain adalah, menjauhkan umat Islam dari kecintaannya terhadap Muhammad.



Adalah Fitnah yang Keji

Jadi, tanpa bukti yang solidpun selain perhormatan saya terhadap Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis berumur 6 tahun dengan Nabi berumur 50 tahun adalah fitnah yang amat keji kepada Rasulullah salallahu alaihi wassalam, seseorang yang sangat mulia akhlaknya.



Latar Belakang Perkawinan dengan Aisyah dan Hafsha

Dalam Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husein Haikal disebutkan bahwa sebagai berikut: Adapun Aisyah dan Hafsha adalah puteri-puteri dua orang pembantu dekatnya, Abu Bakar dan Umar. Segi inilah yang membuat Muhammad mengikatkan diri dengan kedua orang itu dengan ikatan semenda perkawinan dengan puteri-puteri mereka. Sama juga halnya ia mengikatkan diri dengan Usman dan Ali dengan jalan mengawinkan kedua puterinya kepada mereka. Kalaupun benar kata orang mengenai Aisyah serta kecintaan Muhammad kepadanya itu, maka cinta itu timbul sesudah perkawinan, bukan ketika kawin.

Gadis itu dipinangnya kepada orangtuanya tatkala ia berusia sembilan tahun dan dibiarkannya dua tahun sebelum perkawinan dilangsungkan (perkawinan di usia minimal 11 tahun). Logika tidak akan menerima kiranya, bahwa dia sudah mencintainya dalam usia yang masih begitu kecil. Hal ini diperkuat lagi oleh perkawinannya dengan Hafsha binti Umar yang juga bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya sendiri sebagai saksi. Namun oleh para orientalis, usia perkawinan Aisah ini diputarbalikkan menjadi fitnah yang sangat keji.

"Sungguh," kata Umar, "tatkala kami dalam zaman jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka.

Kita sudah melihat bukan, bahwa Muhammad mengawini Aisyah atau mengawini Hafsha bukan karena cintanya atau karena suatu dorongan berahi, tapi karena hendak memperkukuh tali masyarakat Islam yang baru tumbuh dalam diri dua orang pembantu dekatnya (Abu Bakar dan Umar) itu. Sama halnya ketika ia kawin dengan Sauda, maksudnya supaya pejuang-pejuang Muslimin itu mengetahui, bahwa kalau mereka gugur untuk agama Allah, isteri-isteri dan anak-anak mereka tidak akan dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan.



Perkawinannya dengan Janda-Janda

Perkawinannya dengah Zainab bt. Khuzaima dan dengan Umm Salama mempertegas lagi hal itu. Zainab adalah isteri 'Ubaida bin'l-Harith bin'l-Muttalib yang telah mati syahid, gugur dalam perang Badr. Dia tidak cantik, hanya terkenal karena kebaikan hatinya dan suka menolong orang, sampai ia diberi gelar Umm'l-Masakin (Ibu orang-orang miskin). Umurnya pun sudah tidak muda lagi. Hanya setahun dua saja sesudah itu ia pun meninggal. Sesudah Khadijah dialah satu-satunya isteri Nabi yang telah wafat mendahuluinya.

Kemudian peristiwa-peristiwa sejarah serta logikanya juga menjadi saksi yang jujur mendustakan cerita misi-misi penginjil dan para Orientalis itu sehubungan dengan poligami Nabi. Seperti kita sebutkan tadi, selama 28 tahun ia hanya beristerikan Khadijah seorang, tiada yang lain. Setelah Khadijah wafat, ia kawin dengan Sauda bint Zam'a, janda Sakran b. 'Amr b. 'Abd Syams. Tidak ada suatu sumber yang menyebutkan, bahwa Sauda adalah seorang wanita yang cantik, atau berharta atau mempunyai kedudukan yang akan memberi pengaruh karena hasrat duniawi dalam perkawinannya itu.

Melainkan soalnya ialah, Sauda adalah isteri orang yang termasuk mula-mula dalam lslam, termasuk orang-orang yang dalam membela agama, turut memikul pelbagai macam penderitaan, turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan Nabi hijrah ke seberang lautan itu. Sauda juga sudah Islam dan ikut hijrah bersama-sama, ia juga turut sengsara, turut menderita. Kalau sesudah itu Muhammad kemudian mengawininya untuk memberikan perlindungan hidup dan untuk memberikan tempat setarap dengan Umm'l-Mu'minin, maka hal ini patut sekali dipuji dan patut mendapat penghargaan yang tinggi.

Sedang Umm Salama sudah banyak anaknya sebagai isteri Abu Salama, seperti sudah disebutkan di atas, bahwa dalam perang Uhud ia menderita luka-luka, kemudian sembuh kembali. Oleh Nabi ia diserahi pimpinan untuk menghadapi Banu Asad yang berhasil di kucar-kacirkan dan ia kembali ke Medinah dengan membawa rampasan perang. Tetapi bekas lukanya di Uhud itu terbuka dan kembali mengucurkan darah yang dideritanya terus sampai meninggalnya. Ketika sudah di atas ranjang kematiannya, Nabi juga hadir dan terus mendampinginya sambil mendoakan untuk kebaikannya, sampai ia wafat. Empat bulan setelah kematiannya itu Muhammad meminta tangan Umm Salama.

Tetapi wanita ini menolak dengan lemah lembut karena ia sudah banyak anak dan sudah tidak muda lagi. Hanya dalam pada itu akhirnya sampai juga ia mengawini dan dia sendiri yang bertindak menguruskan dan memelihara anak-anaknya.

Adakah sesudah ini semua para misi penginjil dan Orientalis itu masih akan mendakwakan, bahwa karena kecantikan Umm Salama itulah maka Muhammad terdorong hendak mengawininya?

Kalau hanya karena itu saja, masih banyak gadis-gadis kaum Muhajirin dan Anshar yang lain, yang jauh lebih cantik, lebih muda, lebih kaya dan bersemarak, dan tidak pula ia akan dibebani dengan anak-anaknya. Akan tetapi sebaliknya, ia mengawininya itu karena pertimbangan yang luhur itu juga, sama halnya dengan perkawinannya dengan Zainab binti. Khuzaima, yang membuat kaum Muslimin bahkan makin cinta kepadanya dan membuat mereka lebih-lebih lagi memandangnya sebagai Nabi dan Rasul Allah. Di samping itu mereka semua memang sudah menganggapnya sebagai ayah mereka. Ayah bagi segenap orang miskin, orang yang tertekan, orang lemah, orang yang sengsara dan tak berdaya. Ayah bagi setiap orang yang kehilangan ayah, yang gugur membela agama Allah.

Dari riwayat tersebut di atas, terlihat bahwa usia 6 tahun menikah adalah fitnah. Yang benar adalah 9 tahun di pinang dan 2 tahun kemudian dinikahi (11 tahun menikah). Jadi memutar angka 6 dan 9 adalah teknik pengkaburan angka sang ide pembuat keji.



Penelusuran Bukti

Bukti 1: Pengujian Terhadap Sumber Fitnah Keji

”Pernikahan gadis polos berumur 6 tahun, Aisyah, dengan Nabi”

Sebagaian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari Bapaknya, Yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorangpun yang di Medinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Medinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini. Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, dimana Hisham tinggal disana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia tua.

Tehzibu’l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : "Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq” (Tehzi’bu’l-Tehzi’b, Ibn Hajar Al-`asqala’ni, Dar Ihya Al-Turath Al-Islami, 15th Century. Vol 11, p.50).

Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq:” Saya pernah dikasih tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq (Tehzi’b u’l-Tehzi’b, IbnHajar Al- `asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).

Mizanu’l-ai`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadist Nabi saw mencatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok” (Mizanu’l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).

Kesimpulan Bukti 1 :

Berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah jelek dan riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.



Bukti 2: Meminang

Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: “Semua anak Abu Bakar (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya ” (Tarikhu’l-umam wa’l-mamlu’k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut, 1979).

Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa jahiliyah usai (610 M).

Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur minimal 14 tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.

Kesimpulan Bukti 2 : Al-Tabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.



Bukti 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah

Menurut Ibn Hajar, “Fatimah dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun. Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah ” (Al-isabah fi tamyizi’l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu’l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978).

Jika Statement Ibn Hajar adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, usia Fatimah minimal 17 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah minimal 12 tahun.

KESIMPULAN: Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 6 tahun tidak benar dan merupakan fitnah sangat keji yang tidak berdasar yang sengaja dilontarkan oleh kaum yang ingin menjauhkan Muhammad dari hati umat Islam..

Bukti 4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma’

Menurut Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d: “Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`la’ma’l-nubala’, Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992). Menurut Ibn Kathir: “Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya (Aisyah)” (Al-Bidayah wa’l-nihayah, IbnKathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).

Menurut Ibn Kathir: “Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut riwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau bebrapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun” (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933)

Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: “Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 or 74 H.” (Taqribu’l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow).

Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisuh usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622M). Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada tahun dimana Aisyah berumah tangga.

Berdasarkan Hajar, Ibn Katir, and Abda’l-Rahman ibn abi Zanna’d, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.

Dalam bukti 3, Ibn Hajar memperkirakan usia berdasar usia Fatimah, Aisyah 12 tahun dan dalam bukti 4 Ibn Hajar berdasar usia Asma’ maka usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi sama sekali usia menikah tidak dalam usia 6 tahun.

Kesimpulan Bukti 4: Ibn Hajar dalam periwayatan usia Aisyah jelas membantah usia 6 tahun dalam menikah.



Bukti 5: Perang BADAR dan UHUD

Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam Hadist Muslim, (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab Karahiyati’l-isti`anah fi’l-ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: “ketika kita mencapai Shajarah”. Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar. Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab Ghazwi’l-nisa’ wa qitalihinnama`a’lrijal): “Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb].”

Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr.

Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu’l-maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b): “Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb.”

Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 years akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perangm, dan (b) Aisyah ikut dalam perang badar dan Uhud

Kesimpulan 5: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 6 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.

Bukti 6: Surat al-Qamar (Bulan)

Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: “Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa arab)” ketika Surah Al-Qamar diturunkan (Sahih Bukhari, kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr).

Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah (The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tersebut diturunkan pada tahun 614 M. jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah dalam bahasa arab) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon). Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia minimal 14 sampai 21 tahun ketika dinikah Nabi.

KESIMPULAN: Riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 6 tahun.

Bukti 7: Terminologi bahasa Arab

Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah (Khadijah), Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepada nya ttg pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis (bikr) tersebut, Khaulah menyebutkan nama Aisyah.

Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 6 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yangmasih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah.. Bikr disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaiaman kita pahami dalam bahasa Inggris “virgin”. Oleh karean itu, tampak jelas bahwa gadis belia 6 tahun bukanlah “wanita” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).

Kesimpulan Bukti 7: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah “wanita dewasa, yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan (virgin).” Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang gadis dewasa pada waktu menikahnya.

Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 6 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah saw dan Aisyah ketika berusia 6 tahun. Orang-orang arab tidak pernah keberatan dengan pernikahan seperti ini, karena ini tak pernah terjadi sebagaimana isi fitnah keji tersebut.

Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 6 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran tidak sesuai dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable dan kontradiksi dengan pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim yang menunjukkan mengenai usia menikah Aisyah 6 tahun ketika menikah adalah tidak nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.

Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 6 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tersebut dan lebih layak disebut sebagai fitnah yang keji.

KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:

pra-610 M: Jahiliyah (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama dan AbuBakar menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah
622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Madinah.
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah
Kesimpulan

Kaum orientalis senantiasa mencari sisi-sisi dalam Islam sebagai bahan fitnahan. Suatu bukti bahwa moral kaum orientalispun harus dipertanyakan.
Umat Islam tidak akan terpengaruh dan tidak akan goyah cintanya kepada Rasulullah saw, Utusan Allah manusia sempurna.
Tidak pernah terjadi permasalahan yang buruk di dalam pernikahan dan kehidupan keluarga Rasulullah saw yang mulia.
By Syafii  (PPFU)

Mungkin sekali diantara kita yang masih bertanya-tanya apakah pernikahannya
adalah pernikahan yang ideal?. Dan apakah pernikahan yang ideal itu sama
dengan pernikahan sekufu. Dalam bahasa kufu yang dimaksud adalah  kafa’ah
yang artinya kurang lebih adalah setaraf, sederajat atau sebanding.  Tetapi
jodoh memang sebuah rahasia Allah SWT yang setiap orang tidak dapat
menentukannya sendiri.

Tidak bisa dipungkiri kriteria yang setaraf, sederajat atau sebanding
menjadi salah satu faktor kebahagiaan hidup berumah tangga, meski sifatnya
tidak mutlak.  Karena sebuah pernikahan adalah bukan saja penyatuan atas
seorang pria dan wanita, melainkan lebih dari itu adalah sebuah ritual suci
yang juga menyatukan dua buah keluarga besar dari kedua mempelai. Sehingga
suatu kebahagiaan dan ketentraman di dalam pernikahan sangat dipengaruhi
oleh kondisi dan interaksi dari kedua belah keluarga besar tersebut.
Di dalam Fiqih Sunnah, Sayid Sabiq ada beberapa hal yang dianggap sebagai
ukuran kufu, antara lain ; karena keturunannya, bukan hamba sahaya /
merdeka, beragama islam, mempunyai pekerjaan, karena kekayaannya dan karena
kondsi fisik/tidak cacat. Namun demikian ukuran-ukuran tersebut pun masih
dapat diperdebatkan.

Dari beberapa kriteria pernikahan sekufu, maka dapat diringkas sebab dan
akibat sekufu antara lain sebagai berikut :

1.      Memiliki Kualitas Akhlak yang Sama

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa
yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan
rezki yang mulia (surga). (QS.24.26)
Ayat ini menegaskan  bantahan terhadap kaum munafik yang telah menuduh  Siti
Aisyah ra telah berzina. Ayat ini juga menegaskan bahwa wanita-wanita yang
baik akhlaknya hanya pantas untuk laki-laki yang akhlaknya baik-baik pula.
Artinya seseorang  akan berjodoh dengan seorang yang mempunyai kualitas
akhlak yang sama. Dan apabila diri kita masuk kedalam kategori "setengah
baik-baik" maka kita akan berjodoh dengan orang yang "setengah baik-baik".
Inilah sekufu dalam sudut pandang akhlaknya.  Namun demikian, yang bias
mengukur atas kadar kualitas akhlak seseorang bukanlah manusia, tetapi Allah
SWT. Manusia hanyalah mengetahuinya dari ciri-ciri seseorang dan
perbuatannya.
Di dalam kenyataan, seseorang akan dipertemukan jodohnya dengan seseorang di
tempat dimana  mereka lebih banyak berada. Sebagai contoh, seorang yang
aktif  di dalam sebuah majelis ilmu, kemungkinan untuk mendapatkan jodoh
yang juga aktif di dalam sebuah majelis ilmu cukup besar. Atau sebaliknya,
seorang yang sering berkunjung ke  sebuah bar atau tempat-tempat hiburan
malam, maka peluang untuk mendapatkan jodoh di tempat tersebut juga cukup
besar.
Maka dari itu, untuk mendapatkan jodoh seorang yang baik-baik, sebaiknya
dalam menjemput jodoh kita lakukan di tempat-tempat yang baik pula dan lebih
mengintensifkan waktu kita di tempat yang Allah SWT ridhai. Dalam
mendapatkan jodoh, seseorang lebih cenderung memilih orang yang baik baik,
meski dirinya bukanlah orang yang baik-baik. Untuk itu diperlukan cermin,
sehingga seseorang dapat menginstrospeksi terhadap dirinya sendiri, sejauh
mana kualitas dirinya.
Dalsm masalah sekufu atas akhlak,  Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita
apabila datang seorang laki-laki yang akhlaknya baik melamar ke seorang
wanita, maka hendaknya diterima.
Dari Abu Hatim al Muzani,  Rasulullah SAW bersabda " Jika datang kepadamu
laki-laki yang agamanya dan akhlaknya kamu sukai, kawinkanlah ia. Jika kamu
tidak berbuat demikian, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan yang hebat di
atas permukaan bumi, " Sahabat bertanya, " Wahai Rasulullah, bagaimana kalau
ia sudah beristri ?" Rasulullah menjawab, "Jika datang kepadamu laki-laki
yang agamanya dan akhlaknya kamu sukai, kawinkanlah ia " sampai tiga kali.
(HR at Tirmidzi).

2.  Sebagai Ujian dari Allah SWT

Meskipun sebagian orang mendapatkan jodoh sesuai dengan kualitas akhlaknya,
namun demikian ada sebagian orang lagi yang mendapatkan jodoh tidak sepadan
kualitas akhlaknya. Ini terjadi pada diri Siti Asiyah dengan Fir’aun, Nabi
Nuh as dengan istrinya, Nabi Luth as dengan istrinya, Khaulah binti Tsa’
labah dengan  Aus bin Samit, serta  beberapa contoh pernikahan di zaman
sekarang ini.
Dari semua pernikahan tersebut, masing-masing dilatar belakangi oleh
peristiwa yang berbeda, yang lebih utama dari itu adalah masing-masing
pernikahan tersebut memberikan hikmah yang begitu dalam. Kisah pernikahan
Siti Asiyah dengan Fir’aun menunjukkan bukti kesetiaan seorang istri
terhadap suaminya yang kafir, tetapi pada saat Siti Asiyah dihadapkan kepada
pilihan, lebih setia kepada siapa antara kepada suaminya atau kepada Allah
SWT, maka tak segan-segan ia memilih kesetiannya kepada Allah SWT.
Kisah Nabi Nuh as dan Nabi Luth as dengan istri-istrinya menunjukkan
penerapan hukum dari Allah SWT tidak pandang bulu. Tidak ada keistimewaan
antara istri nabi dengan yang lainnya. Siapa saja yang bersalah dan
menentang hukum-hukum Allah SWT pasti akan diadili. Dan bagi seorang nabi
pun tidak dapat memohonkan ampunan kepada istrinya yang durhaka kepada Allah
SWT.
Demikian juga dengan kisah pernikahan antara Khaulah binti Tsa’labah dengan
Aus bin Shamit. Kisahnya memberikan hikmah yang begitu dalam hingga
melatarbelakangi turunnya ayat di al Qur’an. Dikisahkan, bahwa Khaulah binti
Tsa’labah seorang muslimah yang taat dengan usia yang terpaut cukup jauh
dengan Aus bin Samit. Namun demikian Rasulullah SAW menjodohkan mereka
dengan tujuan agar Aus bin Samit yang mempunyai perangai yang buruk dapat
mengikuti kesalihan istrinya. Dan pada suatu ketika Aus bin Samit
mengatakan kepada Khaulah binti Tsa’labah kalau dia sama seperti ibunya. Dan
ketika Aus bin Samit berkeinginan untuk berhubungan intim, Khaulah binti Tsa
‘labah menolaknya. Ia minta kepada suaminya untuk menarik kembali ucapannya,
namun ditolak,   hingga Aus bin Shamit marah besar. Akhirnya Khaulah binti
Tsa’labah mengadu  kepada Rasulullah SAW. Dan Allah SWT menurunkan
firman-Nya ;
Sesungguhnya Allah Telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan
kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan
Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha melihat  (QS.58.1)
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya
sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu
mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya
mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS.58.2)
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan
kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.58.3)
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa
dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak
Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah
supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum
Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (QS.58.4)
Dan akhirnya Aus bin Shamit dapat merubah perangai buruknya. Kehidupan
mereka pun menjadi semakin harmonis, karena telah lulusnya ujian dari Allah
SWT.  Sungguh sangat beruntung apabila seorang mukmin dapat mengambil hikmah
dan selalu sabar atas ujian di dalam pernikahannya.
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila
mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka
secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak. (QS.4.19)

3.      Pernikahan Karena Perintah Allah SWT Langsung

Sebab akibat pernikahan juga dapat terjadi karena benar-benar perintah dari
Allah SWT secara langsung. Seperti perintah Allah SWT kepada Rasulullah SAW
untuk menikahi Ummahatul Mukminin Zainab binti Jahsy ra.
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah
sesat, sesat yang nyata. (QS.33.36)
Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya:
"Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu
menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu
takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.
Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan
bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka,
apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada
isterinya dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (QS.33.37)
Kisah pernikahan tersebut sering dijadikan bahan untuk kaum orientalis untuk
mengolok-olok Rasulullah SAW.  Padahal perintah untuk menikahi Zainab binti
Jahsy ini sebagaimana di ayat tersebut adalah dengan maksud supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk menikahi mantan istri-istri dari anak-anak
angkat mereka yang sudah dicerai. Dan dengan pernikahan tersebut dapat
menguatkan  perintah agar seseorang tidak memberikan nasab nama anak
angkatnya dengan ayah angkatnya sendiri, karena status anak angkat itu hanya
seperti layaknya saudara saja.
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja.
dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).
(QS.33.4)
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (mantan budak yan sudah bebas)
dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi
(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.33.5)
Itulah beberapa kisah sebab akibat pernikahan yang menunjukkan hikmah besar
di baliknya dan menunjukkan betapa besarnya kekuasaan Allah SWT serta agar
firman-firman-Nya dapat dimengerti dengan jelas oleh hamba-hamba-Nya.
Sehingga pengertian sekufu mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda. Karena
hanya Allah lah yang tahu, seseorang akan berjodoh dengan siapa. Entah
apakah jodohnya itu adalah disebabkan adanya persamaan/setaraf kualitas
akhlaknya ataukah jodonya tersebut sebagai ujian baginya agar menjadi lebih
dekat kepada Allah dan dapat menjadikan jodohnya untuk turut serta taat
dengan hukum-hukum Allah SWT.
Yang pasti di dalam sebuah pernikahan, seorang mukmin diperintahkan untuk
menjaga keluarganya dari kesesatan di dunia yang menjerumuskan keluarganya
ke neraka, sehingga sebuah pernikahan yang ideal dapat kita nikmati
bersama-sama dengan pasangan kita masing-masing.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.















Get a new challenge
Get an audio challengeGet a visual challenge
Help


Pernikahan Nabi Muhammad

Ibu-ibu dari orang-orang yang beriman (Arab: أمهات المؤمنين) adalah istilah Islam yang merupakan penyebutan kehormatan bagi istri-istri dari Nabi Muhammad. Muslim menggunakan istilah tersebut sebelum atau sesudah nama istri beliau. Istilah ini diambil dari ayat Quran, Surah Al-Ahzab ayat 6.
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka...

Nabi Muhammad seringkali disebutkan menikah dengan 11 orang perempuan. Terdapat anggapan bahwa ia menikah dengan dua orang perempuan lainnya, tetapi diceraikannya sebelum mereka sempat bersama-sama.[rujukan?]
Daftar isi

* 1 Khadijah binti Khuwailid
* 2 Saudah binti Zam'ah
* 3 Aisyah binti Abu Bakar
* 4 Hafshah binti Umar bin al-Khattab
* 5 Ummu Salamah
* 6 Ummu Habibah binti Abu Sufyan
* 7 Juwairiyah (Barrah) binti Harits
* 8 Shafiyah binti Huyai
* 9 Zainab binti Jahsy
* 10 Zainab binti Khuzaimah
* 11 Maria al-Qibtiyyah
* 12 Referensi

Khadijah binti Khuwailid

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Khadijah binti Khuwailid

Ia merupakan isteri Nabi Muhammad yang pertama. Sebelum menikah dengan Nabi, ia pernah menjadi isteri dari Atiq bin Abid dan Abu Halah bin Malik dan telah melahirkan empat orang anak, dua dengan suaminya yang bernama Atiq, yaitu Abdullah dan Jariyah, dan dua dengan suaminya Abu Halah yaitu Hindun dan Zainab.

Berbagai riwayat memaparkan bahwa saat Muhammad s.a.w. menikah dengan Khadijah, umur Khadijah berusia 40 tahun sedangkan Nabi hanya berumur 25 tahun. Tetapi menurut Ibnu Katsir, seorang tokoh dalam bidang tafsir, hadis dan sejarah, mereka menikah dalam usia yang sebaya. Nabi Muhammad s.a.w. bersama dengannya sebagai suami isteri selama 25 tahun yaitu 15 tahun sebelum menerima wahyu pertama dan 10 tahun setelahnya hingga wafatnya Khadijah, kira-kira 3 tahun sebelum hijrah ke Madinah. Khadijah wafat saat ia berusia 50 tahun.

Ia merupakan isteri nabi Muhammad s.a.w. yang tidak pernah dimadu, karena semua isterinya yang dimadu dinikahi setelah wafatnya Khadijah. Di samping itu, semua anak Nabi kecuali Ibrahim adalah anak kandung Khadijah.

Maskawin dari nabi Muhammad s.a.w. sebanyak 20 bakrah (onta yang bagus) dan upacara perkawinan diadakan oleh ayahnya Khuwailid. Riwayat lain menyatakan, upacara itu dilakukan oleh saudaranya Amr bin Khuwailid.

Saudah binti Zam'ah

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Saudah binti Zam'ah

Nabi menikah dengan Saudah setelah wafatnya Khadijah dalam bulan itu juga.

Saudah adalah seorang janda tua. Suami pertamanya ialah al-Sakran bin Amr. Saudah dan suaminya al-Sakran adalah di antara mereka yang pernah berhijrah ke Habsyah. Saat suaminya meninggal dunia setelah pulang dari Habsyah, maka Rasulullah s.a.w. telah mengambilnya menjadi isteri untuk memberi perlindungan kepadanya dan memberi penghargaan yang tinggi kepada suaminya.

Acara pernikahan dilakukan oleh Salit bin Amr. Riwayat lain menyatakan upacara dilakukan oleh Abu Hatib bin Amr. Mas kawinnya ialah 400 dirham. ???

Aisyah binti Abu Bakar

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Aisyah binti Abu Bakar

Akad nikah diadakan di Mekkah sebelum Hijrah, tetapi setelah wafatnya Khadijah dan setelah nabi Muhammad menikah dengan Saudah. Ketika itu Aisyah berumur 16 tahun. Rasulullah tidak bersama dengannya sebagai suami isteri melainkan setelah berhijrah ke Madinah. Ketika itu, Aisyah berumur 19 tahun sementara nabi Muhammad berumur 53 tahun.

Aisyah adalah satu-satunya isteri rasulullah yang masih gadis pada saat dinikahi. Saat itu Aisyah berumur 19. Upacara dilakukan oleh ayahnya Abu Bakar dengan mas kawin 400 dirham.

lebih jauh dapat dibaca di: http://erzal.wordpress.com/category/pernikahan-nabi-muhammad-dengan-siti-aisyah/

Hafshah binti Umar bin al-Khattab

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hafshah binti Umar

Hafsah seorang janda. Suami pertamanya Khunais bin Hudhafah al-Sahmiy yang meninggal dunia saat Perang Badar. Ayahnya Umar meminta Abu Bakar menikah dengan Hafsah, tetapi Abu Bakar tidak menyatakan persetujuan apapun dan Umar mengadu kepada nabi Muhammad.

Kemudia rasulullah mengambil Hafsah sebagai isteri.

Ummu Salamah

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ummu Salamah

Salamah seorang janda tua mempunyai 4 anak dengan suami pertama yang bernama Abdullah bin Abd al-Asad. Suaminya syahid dalam Perang Uhud dan saudara sepupunya turut syahid pula dalam perang itu lalu nabi Muhammad melamarnya. Mulanya lamaran ditolak karena menyadari usia tuanya. Alasan umur turut digunakannya ketika menolak lamaran Abu Bakar dan Umar al Khattab.

Lamaran kali kedua nabi Muhammad diterimanya dengan mas kawin sebuah tilam, mangkuk dari sebuah pengisar tepung.

Ummu Habibah binti Abu Sufyan

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ummu Habibah

Ummu Habibah seorang janda. Suami pertamanya Ubaidillah bin Jahsyin al-Asadiy. Ummu Habibah dan suaminya Ubaidullah pernah berhijrah ke Habsyah. Ubaidullah meninggal dunia ketika di rantau dan Ummu Habibah yang berada di Habsyah kehilangan tempat bergantung.

Melalui al Najashi, nabi Muhammad melamar Ummu Habibah dan upacara pernikahan dilakukan oleh Khalid bin Said al-As dengan mas kawin 400 dirham, dibayar oleh al Najashi bagi pihak nabi.

Juwairiyah (Barrah) binti Harits

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Juwairiyah binti Harits

Ayah Juwairiyah ialah ketua kelompok Bani Mustaliq yang telah mengumpulkan bala tentaranya untuk memerangi nabi Muhammad dalam Perang al-Muraisi'.

Setelah Bani al-Mustaliq tewas dan Barrah ditawan oleh Tsabit bin Qais bin al-Syammas al-Ansariy. Tsabit hendak dimukatabah dengan 9 tahil emas, dan Barrah pun mengadu kepada nabi.

Rasulullah bersedia membayar mukatabah tersebut, kemudian menikahinya.

Shafiyah binti Huyai

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Shafiyah binti Huyai

Safiyah anak dari Huyay, ketua suku Bani Nadhir, yaitu salah satu suku bangsa Yahudi yang berdiam di sekitar Madinah. Dalam Perang Khaibar, Safiyah dan suaminya Kinanah bin al-Rabi telah tertawan. Dalam satu perundingan setelah dibebaskan, Safiyah memilih untuk menjadi isteri nabi Muhammad.

Zainab binti Jahsy

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Zainab binti Jahsy

Zainab merupakan isteri Zaid bin Haritsah, yang pernah menjadi budak dan kemudian menjadi anak angkat nabi Muhammad s.a.w. setelah dia dimerdekakan.

Hubungan suami isteri antara Zainah dan Zaid tidak bahagia karena Zainab dari keturunan mulia, tidak mudah patuh dan tidak setaraf dengan Zaid. Zaid telah menceraikannya walaupun telah dinasihati oleh nabi Muhammad s.a.w. .

Upacara pernikahan dilakukan oleh Abbas bin Abdul-Muththalib dengan mas kawin 400 dirham, dibayar bagi pihak nabi Muhammad s.a.w.

Zainab binti Khuzaimah

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Zainab binti Khuzaimah

Zainab binti Khuzaimah meninggal dunia sewaktu nabi Muhammad s.a.w. masih hidup.

Maria al-Qibtiyyah

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Maria al-Qibtiyyah

Mariah al-Qibthiyah ialah satu-satunya istri Nabi yang berasal dari Mesir dan satu-satunya pula yang dengannya Nabi memperoleh anak selain Khadijah yakni Ibrahim namun sayangnya meninggal dalam usia 4 tahun.

Referensi

* Profesor Madya Dr. Ishak Mohd. Rejab, Rasulullah Sebagai Ketua Keluarga, Yayasan Dakwah Islamiah Malaysia, 1988.